UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga
negara, karena itu menempatkan
perpajakan sebagai salah
satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga
negara yang merupakan sarana peranserta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan
pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku tidak sesuai lagi dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik
dalam segi kegotong - royongan nasional maupun dalam laju pembangunan yang
telah tercapai;
c. bahwa sistem perpajakan, khususnya yang tertuang dalam
ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung yang berlaku selama ini belum dapat
menggerakkan peranserta semua lapisan pengusaha kena pajak dalam meningkatkan
pendapatan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan pembiayaan
negara dan kelangsungan pembangunan yang berdasarkan pada asas-asas pembangunan nasional;
d. bahwa sistem pajak penjualan yang berlaku dewasa ini sudah
tidak sesuai lagi sebagai sarana yang dapat menunjang kebutuhan tersebut di atas;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai barang dan
jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dengan undang-undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) juncto
pasal 20 ayat (1) dan pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 326)
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
M E M U T U S K A N :
Dengan mencabut :
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang penetapan Undang-undang Darurat nomor 19 Tahun 1953 tentang
Pemungutan Pajak Penjualan (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94) sebagai
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 489) sebagaimana beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-
undang pajak Penjualan
1951 (Lembaran Negara
Tahun 1968 Nomor 14, tambahan lembaran Negara Nomor 2847);
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a.
Daerah Pabean adalah wilayah
Republik Indonesia yang di dalamnya
berlaku peraturan
perundang-undangan Pabean ;
b.
Barang adalah barang berwujud
yang menurut sifat
atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak ;
c.
Barang Kena Pajak adalah
barang sebagaimana dimaksud
pada huruf b sebagai hasil proses
pengolahan (pabrikasi)yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini ;
d.
Penyerahan Barang Kena Pajak :
1) Yang
termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a)
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian ;
b) pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu
perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing ;
c) pengalihan
hasil produksi dalam keadaan bergerak ;
d) pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu
perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing ;
e)
pemakaian sendiri dan pemberian Cuma-Cuma ;
f)
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan ;
2) Yang
tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a) penyerahan Barang kena Pajak kepada
makelar sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang- undang Hukum Dagang;
b) Penyerahan
barang kena Pajak untuk jaminan hutang- piutang ;
c)
Pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan.
e.
Jasa adalah semua kegiatan
usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia
untuk dipakai ;
f.
Jasa Kena Pajak adalah
jasa sebagaimana dimaksud
pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
ini ;
g.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah kegiatan
melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang
dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena
Pajak yang dilakukan untuk kepentingan sendiri
;
h.
Impor adalah semua kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean
;
i.
Ekspor adalah semua kegiatan mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean
;
j.
Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual
barang tampa mengubah
bentuk atau sifatnya ;
k.
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan
barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, atau
melakukan usaha jasa ;
l.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan
pajak berdasarkan undang-undang ini.
Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena
Pajak adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya di tetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan ;
m.
menghasilkan adalah
kegiatan mengolah melalui
proses mengubah bentuk
atau sifat suatu barang
dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk
membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas,
tolkan, dan menambang atau menyuruh orang atau
badan lain melakukan kegiatan itu. Yang tidak termasuk dalam pengertian
menghasilkan ialah :
1)
menanam atau memetik hasil
pertanian atau memelihara hewan ;
2) menangkap
atau memelihara ikan ;
3) mengeringkan
atau menggarami makanan ;
4)
membungkus atau mengepak yang lazimnya terjadi
dalam usaha perdagangan besar atau eceran ;
5)
menyediakan makanan dan minuman
di restoran, rumah penginapan, atau yang dilaksanakan oleh usaha katering
n.
Dasar Pengenaan Pajak adalah
jumlah Harga Jual, penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta
oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terhutang ;
o.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang- undang ini, potongan
harga yang dicantumkan
dalam faktur Pajak, dan harga Barang yang dikembalikan ;
p.
Penggantian adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk
pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini dan potongan harga yang di cantumkan dalam
faktur pajak ;
q.
Nilai Impor adalah berupa
uang yang menjadi
dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang- undangan Pabean untuk Impor Barang
Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut
undang-undang ini ;
r.
Pembeli adalah orang atau badan yang menerima
penyerahan Barang Kena Pajak ;
s.
Penerima Jasa adalah orang atau badan yang menerima
penyerahan Jasa Kena Pajak ;
t.
Faktur Pajak adalah bukti
pemungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang
Kena Pajak ;
u.
Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian barang kena Pajak,
Penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang
kena Pajak;
v.
Pajak Keluaran adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak waktu penyerahan Barang kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak;
w.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Pasal 2
(1) Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung
atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak itu dilakukan.
(2) Hubungan
Istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
a.
dua atau lebih pengusaha, langsung atau tidak
langsung berada di bawah pemilikan
atau pengusaha pengusaha yang sama, atau
b.
Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang
lain, atau hubungan antara
Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua pihak atau
lebih yang disebut terakhir.
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 3
(1) Pengusaha yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1)
huruf a dan d dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak di tempat pengusaha itu bertempat tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)
Orang atau badan yang mengekspor barang
dan/atau menyerahkan Barang
Kena Pajak di Daerah
Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak, dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak di tempat orang atau badan itu bertempat tinggal atau berkedudukan.
(3) Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan.
(4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), wajib menyetor pajak yang terhutang dengan sanksi berupa
denda administrasi sebesar
2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
BAB III
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN
Pasal 4
1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a.
penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean
dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaan oleh Pengusaha yang :
1) menghasilkan
Barang Kena Pajak tersebut ;
2) mengimpor
Barang kena Pajak tersebut ;
3) mempunyai hubungan istimewa
dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2) ;
4) bertindak sebagai penyalur
utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud
pada huruf a angka 1) dan angka 2) ;
5) menjadi pemegang hak atau pemegang
hak menggunakan paten dan merek
dagang dari Barang kena Pajak tersebut ;
b.
penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha
Kena Pajak yang dilakukan di Daerah
Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang memilih
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
;
c. impor
Barang Kena Pajak.
d. penyerahan
Jasa Kena Pajak.
2) Dengan
Peraturan Pemerintah :
a.
Pajak Pertambahan Nilai dapat diberlakukan terhadap
semua penyerahan Barang Kena
Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean oleh pedagang besar atau pedagang eceran
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
;
b. diatur
penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan pajak Pertambahan Nilai ;
Pasal 5
(1)
Di samping pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, dikenakan juga Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah
terhadap :
a.
penyerahan Barang Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Mewah di Daerah Pabean dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya ;
b. impor
Barang Mewah.
(2)
Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dikenakan hanya
satu kali pada waktu penyerahan oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.
Pasal 6
(1)
Setiap Pengusaha Kena pajak diwajibkan mencatat
semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
(2)
Pada catatan dalam pembukuan itu
harus dicantumkan secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan
penyerahan Barang atau Jasa yang terhutang pajak, yang tidak terhutang pajak,
yang dikenakan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(3)
Pengusaha yang berdasarkan
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan
pedoman norma penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat
catatan nilai peredaran
bruto secara teratur, yang
menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai itu.
BAB IV
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 7
(1) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh
persen).
(2) Atas
ekspor Barang dikenakan dengan tarif 0% (nol
persen).
(3)
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif
pajak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat diubah menjadi serendah - rendahnya 5% (lima persen)
dan setinggi-tingginya 15% (lima
belas persen).
Pasal 8
(1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10% (sepuluh persen)
dan 20%(dua puluh persen).
(2) Atas
ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Dengan Peraturan pemerintah tarif
pajak sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat diubah menjadi setinggi - tingginya 35%
(tiga puluh lima persen).
(4)
Dengan peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang yang dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Macam dan jenis Barang
yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
menurut ayat
diatur oleh Menteri keuangan.
Pasal 9
(1)
Pajak Pertambahan Nilai yang
terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalihkan tarif sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2)
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk masa yang sama.
(3)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka
selisihnya merupakan kelebihan-kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan
dengan pajak terhutang dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat
dikembalikan.
(5)
Apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan kena pajak juga melakukan penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian penyerahan kena pajak itu dapat diketahui dengan
pasti dari catatan
dalam pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan yang
telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang Kena Pajak yang
diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai untuk menghasilkan
Barang kena Pajak.
(6)
Dalam hal bagian penyerahan kena
pajak maupun bagian penyerahan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) tidak dapat diketahui dengan
pasti, Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu pedoman
penghitungan jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian
penyerahan kena pajak.
(7)
Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma perhitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar tehadap
Pajak Keluaran yang harus dipungut, dengan
mempergunakan pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8)
Pajak masukan tidak dapat dikreditkan menurut
cara yang diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
a.
pembelian Barang atau Jasa sebelum Pengusaha
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak ;
b.
pembelian Barang dan pengeluaran biaya lain yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan
proses menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ;
c.
pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep,
stasion wagon, van, dan
kombi.
Pasal 10
(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang dalam
suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalihkan tarif sebagaimana diatur dalam
Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Mewah, tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 7.
(3)
Pengusaha kena Pajak yang
mengekspor Barang Mewah dapat meminta kembali pajak yang dibayar pada waktu
perolehan Barang Mewah yang diekspor itu.
BAB V
SAAT DAN TEMPAT
PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK
(1)
Pajak yang terhutang dalam Masa
Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang kena Pajak atau Jasa kena Pajak, atau
pada saat impor Barang kena Pajak.
(2)
Dalam hal pembayaran diterima
sebelum penyerahan Barang kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak yang terhutang
dalam Masa Pajak terjadi pada saat pembayaran.
(1)
Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak, terhutang pajak di tempat tinggal atau kedudukan
mereka dan/atau di tempat usaha dilakukan.
(2)
Atas permohonan tertulis dari
Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak
terhutang.
(3)
Dalam hal Impor, pajak terhutang
di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
(1)
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat
Faktur Pajak pada saat penyerahan barang kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
(2)
Apabila pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(3)
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat
(2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat
satu Faktur Pajak
meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama
sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang
bersangkutan.
(4)
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4
ayat(1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada
Pengusaha Kena
Pajak.
(5)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat
Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(6)
Dalam Faktur pajak harus dicantumkan catatan
tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut undang-undang ini yang
meliputi :
a.
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha
yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau JAsa Kena Pajak;
b.
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembelian Baang Kena Pajak atau Jasa Penerimaan Kena Pajak;
c. Macam,
jenis, kuantum, harga satuan, dan Jumlah Harga Jual atau Penggantian;
d. Pajak
Pertambahan Nilai Yang dipungut;
e. Pajak
Penjualan atas barang Mewah yang dipungut;
f. Tanggal Penyerahan.
(7)
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta
tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur
lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
(8)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak
membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana dimasksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan
Pajak.
Pasal 14
(1)
Orang atau badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang
membuat Faktur Pajak.
(2)
Dalam hal Faktur Pajak telah
dibuat, maka orang atau badan dan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah
pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak kepada
Kas Negara dan dikenakan sanksi berupa denda
administrasi
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 15
(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 kepada
Direktorat Jendral Pajak dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa.
(2)
Keterangan dan dokumen yang harus dicantumkan dan/atau dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Surat Pemberitahuan Masa dianggap
tidak dimasukkan jika Pengusaha Kena Pajak tidan dilaksanakan, atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1)
dan ayat (2).
Pasal 16
(1)
Atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak, kelebihan
pembayaran Pajak yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), pengembaliannya
dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2)
Kelebihan pembayaran pajak atas Barang yang diekspor dikembalikan dalam waktu satu bulan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
Hal-hal yang menyangkut
pengertian, tata cara pemungutan dan sanksi administrasi dan sanksi pidana
berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini, yang secara khusus belum diatur
dalam undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang undangan lainnya.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
(1)
Dengan berlakunya undang-undang ini:
a.
semua Penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum
undang-undang ini berlaku, tetap terhutang pajak menurut Undang-undang Pajak
Penjualan 1951;
b.
selama peraturan pelaksanaan
undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan
masih berlaku.
(2)
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di : Jakarta
Pada tanggal : 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, SOEHARTO