UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa
dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan
sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara
agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
|
|||
b.
|
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah;
|
|||||
Mengingat
|
:
|
1.
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
|
|||||
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
||||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
|
||||
Pasal I
|
||||||
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
|
||||||
a.
|
Nomor 11
Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
|
|||||
b.
|
Nomor 18
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
|
|||||
diubah
sebagai berikut:
|
||||||
1.
|
Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 1
|
||||||
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
yang mengatur mengenai kepabeanan.
|
|||||
2.
|
Barang
adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
|
|||||
3.
|
Barang
Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
4.
|
Penyerahan
Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
|
|||||
5.
|
Jasa
adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan.
|
|||||
6.
|
Jasa Kena
Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
7.
|
Penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
|
|||||
8.
|
Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
|
|||||
9.
|
Impor
adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
|
|||||
10.
|
Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean.
|
|||||
11.
|
Ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena
Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
|
|||||
12.
|
Perdagangan
adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar
barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
|
|||||
13.
|
Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
|||||
14.
|
Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
|
|||||
15.
|
Pengusaha
Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
|
|||||
16.
|
Menghasilkan
adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu
barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru
atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau
badan lain melakukan kegiatan tersebut.
|
|||||
17.
|
Dasar
Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang.
|
|||||
18.
|
Harga Jual
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
|
|||||
19.
|
Penggantian
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena
Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean didalam
Daerah Pabean.
|
|||||
20.
|
Nilai
Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini. |
|||||
21.
|
Pembeli
adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga
Barang Kena Pajak tersebut.
|
|||||
22.
|
Penerima
Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
|
|||||
23.
|
Faktur
Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
|||||
24.
|
Pajak
Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
|
|||||
25.
|
Pajak
Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
|
|||||
26.
|
Nilai
Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
|
|||||
27.
|
Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
|
|||||
28.
|
Ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
|
|||||
29.
|
Ekspor
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah
Pabean. Baca Juga : 41 Istilah Ketentuan umum perpajakan
|
|||||
2.
|
Ketentuan
Pasal lA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 1A
|
||||||
(1)
|
Yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|||||
a.
|
penyerahan
hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|||||
b.
|
pengalihan
Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing);
|
|||||
c.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
|||||
d.
|
pemakaian
sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
|
|||||
e.
|
Barang
Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
|
|||||
f.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang;
|
|||||
g.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
|
|||||
h.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan
Barang Kena Pajak.
|
|||||
(2)
|
Yang tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|||||
a.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;
|
|||||
b.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
|
|||||
c.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal
Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
|
|||||
d.
|
pengalihan
Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan
yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|||||
e.
|
Barang
Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf e.
|
|||||
3.
|
Ketentuan
Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 3A
|
||||||
(1)
|
Pengusaha
yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.
|
|||||
(1a)
|
Pengusaha
kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
|||||
(2)
|
Pengusaha
kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
(3)
|
Orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan
tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
4.
|
Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 4
|
||||||
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
|||||
a.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|||||
b.
|
impor
Barang Kena Pajak;
|
|||||
c.
|
penyerahan
Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|||||
d.
|
pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
|
|||||
e.
|
pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
|
|||||
f.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
|
|||||
g.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|||||
h.
|
ekspor
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan
mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya
dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
5.
|
Ketentuan
Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 4A
|
||||||
(1)
|
Dihapus.
|
|||||
(2)
|
Jenis
barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu
dalam kelompok barang sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
|
|||||
b.
|
barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
|
|||||
c.
|
makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
|
|||||
d.
|
uang, emas
batangan, dan surat berharga.
|
|||||
(3)
|
Jenis jasa
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam
kelompok jasa sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
jasa
pelayanan kesehatan medis;
|
|||||
b.
|
jasa
pelayanan sosial;
|
|||||
c.
|
jasa
pengiriman surat dengan perangko;
|
|||||
d.
|
jasa
keuangan;
|
|||||
e.
|
jasa asuransi;
|
|||||
f.
|
jasa
keagamaan;
|
|||||
g.
|
jasa
pendidikan;
|
|||||
h.
|
jasa
kesenian dan hiburan;
|
|||||
i.
|
jasa
penyiaran yang tidak bersifat iklan;
|
|||||
j.
|
jasa
angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
|
|||||
k.
|
jasa
tenaga kerja;
|
|||||
l.
|
jasa
perhotelan;
|
|||||
m.
|
jasa yang
disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
|
|||||
n.
|
jasa
penyediaan tempat parkir;
|
|||||
o.
|
jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam;
|
|||||
p.
|
jasa
pengiriman uang dengan wesel pos; dan
|
|||||
q.
|
jasa boga
atau katering.
|
|||||
6.
|
Ketentuan
Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 5
|
||||||
(1)
|
Di samping
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
|
|||||
a.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya; dan
|
|||||
b.
|
impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
|
|||||
(2)
|
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
|
|||||
7.
|
Ketentuan
Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 5A
|
||||||
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat
dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam M.asa Pajak terjadinya
pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
|
|||||
(2)
|
Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik
seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan
mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
8.
|
Ketentuan
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
|
|||||
Pasal 7
|
||||||
(1)
|
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
|
|||||
(2)
|
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
|
|||||
a.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|||||
b.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
|
|||||
c.
|
ekspor
Jasa Kena Pajak.
|
|||||
(3)
|
Tarif
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah
5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan
tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
9.
|
Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 8
|
||||||
(1)
|
Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%. (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
|
|||||
(2)
|
Ekspor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).
|
|||||
(3)
|
Ketentuan
mengenai kelompok Barang KenaPajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan
mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
|||||
10.
|
Di antara
Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi
sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 8A
|
||||||
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan
mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
11.
|
Ketentuan
Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat
(2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat
(4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat
(4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat
(6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua)
ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:
|
|||||
Pasal 9
|
||||||
(1)
|
Dihapus.
|
|||||
(2)
|
Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama.
|
|||||
(2a)
|
Bagi
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan.
|
|||||
(2b)
|
Pajak
Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
|
|||||
(3)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak.
|
|||||
(4)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
|
|||||
(4a)
|
Atas kelebihan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku.
|
|||||
(4b)
|
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas
kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap
Masa Pajak oleh:
|
|||||
a.
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|||||
b.
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
|
|||||
c.
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
|
|||||
d.
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
|
|||||
e.
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
|
|||||
f.
|
Pengusaha
Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
|
|||||
(4c)
|
Pengembalian
kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai
Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
|||||
(4d)
|
Ketentuan
mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
(4e)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak
setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
|
|||||
(4f)
|
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
|||||
(5)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
|
|||||
(6)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
(6a)
|
Pajak Masukan
yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah
diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam
hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak
Masukan dimulai.
|
|||||
(6b)
|
Ketentuan
mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
|||||
(7)
|
Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran
usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung
dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
|
|||||
(7a)
|
Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan.
|
|||||
(7b)
|
Ketentuan
mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
(8)
|
Pengkreditan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan
bagi pengeluaran untuk:
|
|||||
a.
|
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
|
|||||
b.
|
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;
|
|||||
c.
|
perolehan
dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan;
|
|||||
d.
|
pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
|
|||||
e.
|
dihapus;
|
|||||
f.
|
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau
tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
|||||
g.
|
pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
|
|||||
h.
|
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
|
|||||
i.
|
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada
waktu dilakukan pemeriksaan; dan
|
|||||
j.
|
perolehan
Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
|
|||||
(9)
|
Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
|
|||||
(10)
|
Dihapus.
|
|||||
(11)
|
Dihapus.
|
|||||
(12)
|
Dihapus.
|
|||||
(13)
|
Ketentuan
mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
(14)
|
Dalam hal
terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalarn rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengarnbilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang
Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima
pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan
dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi.
|
|||||
12.
|
Ketentuan
Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi
sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 11
|
||||||
(1)
|
Terutangnya
pajak terjadi pada saat:
|
|||||
a.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak;
|
|||||
b.
|
impor
Barang Kena Pajak;
|
|||||
c.
|
penyerahan
Jasa Kena Pajak;
|
|||||
d.
|
pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
|
|||||
e.
|
pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
|
|||||
f.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|||||
g.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
|
|||||
h.
|
ekspor
Jasa Kena Pajak.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal
pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
|
|||||
(3)
|
Dihapus.
|
|||||
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak
dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan
ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
|
|||||
(5)
|
Dihapus.
|
|||||
13.
|
Ketentuan
Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi
sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 12
|
||||||
(1)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
|
|||||
(2)
|
Atas
pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak
terutang.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal
impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan
dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||||
(4)
|
Orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang
pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
|
|||||
14.
|
Ketentuan
Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 13
|
||||||
(1)
|
Pengusaha
Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
|
|||||
a.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau
huruf f dan/atau Pasal 16D;
|
|||||
b.
|
penyerahan
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
|
|||||
c.
|
ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g; dan/atau
|
|||||
d.
|
ekspor
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
|
|||||
(1a)
|
Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
|
|||||
a.
|
saat penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|||||
b.
|
saat
penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|||||
c.
|
saat
penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
atau
|
|||||
d.
|
saat lain
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
(2)
|
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat
membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan
kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama
selama 1 (satu) bulan kalender.
|
|||||
(2a)
|
Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir
bulan penyerahan.
|
|||||
(3)
|
Dihapus.
|
|||||
(4)
|
Dihapus.
|
|||||
(5)
|
Dalam
Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
|
|||||
a.
|
nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak;
|
|||||
b.
|
nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak;
|
|||||
c.
|
jenis
barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
|
|||||
d.
|
Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut;
|
|||||
e.
|
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
|
|||||
f.
|
kode,
nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
|
|||||
g.
|
nama dan
tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
|
|||||
(6)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak.
|
|||||
(7)
|
Dihapus.
|
|||||
(8)
|
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan
atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
|||||
(9)
|
Faktur
Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
|
|||||
15.
|
Di antara
Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 15A
|
||||||
(1)
|
Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai disampaikan.
|
|||||
(2)
|
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
|||||
16.
|
Ketentuan
Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 16B
|
||||||
(1)
|
Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
|
|||||
a.
|
kegiatan
di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
|
|||||
b.
|
penyerahan
Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
|
|||||
c.
|
impor
Barang Kena Pajak tertentu;
|
|||||
d.
|
pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean; dan
|
|||||
e.
|
pemanfaatan
Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
|||||
(2)
|
Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan
Nilai dapat dikreditkan.
|
|||||
(3)
|
Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
|
|||||
17.
|
Ketentuan
Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 160
|
||||||
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
|
||||||
18.
|
Di antara
Pasal 160 dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal
16F sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
Pasal 16E
|
||||||
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar
atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang
pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
|
|||||
(2)
|
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
|
|||||
a.
|
nilai
Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
|
|||||
b.
|
pembelian
Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
|
|||||
c.
|
Faktur
Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan
nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas
penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
|||||
(3)
|
Permintaan
kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang
paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
|||||
(4)
|
Dokumen
yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
|
|||||
a.
|
paspor;
|
|||||
b.
|
pas naik (boarding
pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ke luar Daerah Pabean; dan
|
|||||
c.
|
Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufc.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||||
Pasal 16F
|
||||||
Pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara
renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa
pajak telah dibayar.
|
||||||
PASAL II
|
||||||
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
|
||||||
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||||
Disahkan
di Jakarta
|
||||||
pada tanggal
15 Oktober 2009
|
||||||
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
|
||||||
Diundangkan
di Jakarta
|
||||||
pada
tanggal 15 Oktober 2009
|
||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
|
||||||
REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
ANDI MATTALATTA
|
||||||
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
|